1)
Persiapan Operasional.
a. Sarana yang digunakan memenuhi persyaratan
higienis, siap dipakai dan bebas cemaran. Bak-bak sebelum digunakan dibersihkan
atau dicuci dengan sabun detergen dan disikat lalu dikeringkan 2-3 hari.
Pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak kain
yang dicelupkan ke dalam chlorine 150 ppm (150 mil larutan chlorine 10% dalam 1
m3 air) dan didiamkan selama 1~2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium
thiosulfat dengan dosis 40 ppm atau desinfektan lain yaitu formalin 50 ppm.
Menyiapkan suku cadang seperti pompa, genset dan blower untuk mengantisipasi
kerusakan pada saat proses produksi.
b. Menyiapkan bahan makanan induk dan larva pupuk
fytoplankton, bahan kimia yang tersedia cukup sesuai jumlah dan persyaratan
mutu untuk tiap tahap pembenihan.
c. Menyiapkan tenaga pembenihan yang terampil,
disiplin dan berpengalaman dan mampu menguasai bidang kerjanya.
2)
Pengadaan Induk.
a. Umur induk antara 4~5 tahun yang beratnya
lebih dari 4 kg/ekor.
b. Pengangkutan induk jarak jauh menggunakan bak
plastik. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi air bersalinitas rendah
(10~15)ppt, serta suhu 24~25 0C. Atau serat kaca dilengkapi aerasi dan diisi
air barsalinitas rendah (10~15) ppt, serta suhu 24~25 0C.
c. Kepadatan induk selama pengangkutan lebih dari
18 jam, 5~7 kg/m3 air. Kedalaman air dalam bak sekitar 50 cm dan
permukaan bak ditutup untuk mereduksi penetrasi cahaya dan panas.
d. Aklimatisasi dengan salinitas sama dengan pada
saat pengangkutan atau sampai selaput mata yang tadinya keruh menjadi bening
kembali. Setelah selesai aklimatisasi salinitas segera dinaikan dengan cara
mengalirkan air laut dan mematikan pasok air tawar.
3)
Pemeliharaan Induk
a. Induk berbobot 4~6 kg/ekor dipelihara pada
kepadatan satu ekor per 2~4 m3 dalam bak berbentuk bundar yang dilengkapi
aerasi sampai kedalaman 2 meter.
b. Pergantian air 150 % per hari dan sisa makanan
disiphon setiap 3 hari sekali. Ukuran bak induk lebih besar dari 30 ton.
c. Pemberian pakan dengan kandungan protein sekitar
35 % dan lemak 6~8 % diberikan 2~3 % dari bobot bio per hari diberikan 2 kali
per hari yaitu pagi dan masa sore.
d. Salinitas 30~35 ppt, oksigen terlarut . 5 ppm,
amoniak < 0,01 ppm, asam belerang < 0,001 ppm, nirit < 1,0 ppm, pH;
7~85 suhu 27~33 C.
4)
Pemilihan Induk
a. Berat induk lebih dari 5 kg atau panjang antara
55~60 cm, bersisik bersih, cerah dan tidak banyak terkelupas serta mampu
berenang cepat.
b. Pemeriksaan jenis kelamin dilakukan dengan cara
membius ikan dengan 2 phenoxyethanol dosis 200~300 ppm. Setelah ikan melemah
kanula dimasukan ke-lubang kelamin sedalam 20~40 cm tergantung dari panjang
ikan dan dihisap. Pemijahan (striping) dapat juga dilakukan terutama untuk
induk jantan.
c. Diameter telur yang diperoleh melalui kanulasi
dapat digunakan untuk menentukan tingkat kematangan gonad. Induk yang
mengandung telur berdiameter lebih dari 750 mikron sudah siap untuk dipijahkan.
d. Induk jantan yang siap dipijahkan adalah yang
mengandung sperma tingkat III yaitu pejantan yang mengeluarkan sperma cupuk
banyak sewaktu dipijat dari bagian perut kearah lubang kelamin.
5)
Pematangan Gonad
a. Hormon dari luar dapat dilibatkan dalam proses
metabolisme yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi dengan cara penyuntikan
dan implantasi menggunakan implanter khusus. Jenis hormon yang lazim digunakan
untuk mengacu pematangan gonad dan pemijahan bandeng LHRH –a, 17 alpha
methiltestoteron dan HCG.
Cara
penyuntikan pellet hormon ke ikan bandeng
·
Induk bandeng diletakkan di
atas bantalan busa.
·
Lendir yang melapisi bagian
punggung sebelah kanan indukan dibersihkan.
·
Salah satu sisik dilepas
dengan pisau kecil kemudian pisau tersebut ditisukkan untuk membuat lubang
untuk menanam pellet hormon.
·
Pellet hormon dimasukkan
dengan bantuan implanter.
·
Indukan kemudian dimasukkan
lagi ke bak pemeliharaan.
b. Implantasi pelet hormon dilakukan setiap bulan
pada pagi hari saat pemantauan perkembangan gonad induk jantan maupun betina dilakukan
LHRH-a dan 17 alpha methiltestoteren masing-masing dengan dosis 100~200 mikron
per ekor (berat induk 3,5 sampai 7 kg).
6)
Pemijahan Alami.
a. Ukuran bak induk 30-100 ton dengan kedalaman
1,5-3,0 meter berbentuk bulat dilengkapi aerasi kuat menggunakan “diffuser”
sampai dasar bak serta ditutup dengan jaring.
b. Pergantian air minimal 150 % setiap hari.
c. Kepadatan tidak lebih dari satu induk per 2-4 m3
air.
d. Pemijahan umumnya pada malam hari. Induk jantan
mengeluarkan sperma dan induk betina mengeluarkan telur sehingga fertilisasi
terjadi secara eksternal.
7)
Pemijahan Buatan.
a. Pemijahan buatan dilakukan melalui rangsangan
hormonal. Hormon berbentuk cair diberikan pada saat induk jantan dan betina
sudah matang gonad sedang hormon berbentuk padat diberikan setiap bulan
(implantasi).
b. Induk bandeng akan memijah setelah 2-15 kali
implantasi tergantung dari tingkat kematangan gonad. Hormonyang digunakan untuk
implantasi biasanya LHRH –a dan 17 alpha methyltestoterone pada dosis
masing-masing 100-200 mikron per ekor induk (> 4 Kg beratnya).
c. Pemijahan induk betina yang mengandung telur
berdiameter lebih dari 750 mikron atau induk jantan yang mengandung sperma
tingkat tiga dapat dipercepat dengan penyuntikan hormon LHRH- a pada dosis
5.000 10.000IU per Kg berat tubuh.
d. Volume bak 10-20 kedalaman 1,5-3,0 meter
berbentuk bulat terbuat dari serat kaca atau beton ditutup dengan jaring
dihindarkan dari kilasan cahaya pada malam hari untuk mencegah induk meloncat
keluar tangki.
8)
Penanganan Telur.
a. Telur ikan bandeng yang dibuahi berwarna
transparan, mengapung pada salinitas > 30 ppt, sedang tidak dibuahi akan
tenggelam dan berwarna putih keruh.
b. Selama inkubasi, telur harus diaerasi yang cukup
hingga telur padam tingkat embrio. Sesaat sebelum telur dipindahkan aerasi
dihentikan. Selanjutnya telur yang mengapung dipindahkan secara hati-hati ke
dalam bak penetasan/perawatan larva. Kepadatan telur yang ideal dalam bak
penetasan antara 20-30 butir per liter.
c. Masa kritis telur terjadi antara 4-8 jam setelah
pembuahan. Dalam keadaan tersebut penanganan dilakukan dengan sangat hati-hati
untuk menghindarkan benturan antar telur yang dapat mengakibatkan menurunnya
daya tetas telur. Pengangkatan telur pada fase ini belum bisa dilakukan.
d. Setelah telur dipanen dilakukan desinfeksi telur
yang menggunakan larutan formalin 40 % selama 10-15 menit untuk menghindarkan
telur dari bakteri, penyakit dan parasit.
9)
Pemeliharaan Larva.
a. Air media pemeliharaan larva yang bebas dari
pencemaran, suhu 27 31 C salinitas 30 ppt, pH 8 dan oksigen 5-7 ppm diisikan
kedalam bak tidak kurang dari 100 cm yang sudah dipersiapkan dan dilengkapi
sistem aerasi dan batu aerasi dipasang dengan jarak antara 100 cm batu aerasi.
b. Larva umur 0-2 hari kebutuhan makananya masih
dipenuhi oleh kuning telur sebagai cadangan makanannya. Setelah hari kedua
setelah ditetaskan diberi pakan alami yaitu chlorella dan rotifera. Masa
pemeliharaan berlangsung 21-25 hari saat larva sudah berubah menjadi nener.
c. Pada hari ke nol telur-telur yang tidak menetes,
cangkang telur larva yang baru menetas perlu disiphon sampai hari ke 8-10 larva
dipelihara pada kondisi air stagnan dan setelah hari ke 10 dilakukan pergantian
air 10% meningkat secara bertahap sampai 100% menjelang panen.
d. Masa kritis dalam pemeliharaan larva biasanya
terjadi mulai hari ke 3-4 sampai ke 7-8. Untuk mengurangi jumlah kematian
larva, jumlah pakan yang diberikan dan kualitas air pemeluharan perlu terus
dipertahankan pada kisaran optimal.
e. Nener yang tumbuh normal dan sehat umumnya
berukuran panjang 12- 16 mm dan berat 0,006-0,012 gram dapat dipelihara sampai
umur 25 hari saat penampakan morfologisnya sudah menyamai bandeng dewasa.
10)
Pemberian Makanan Alami
a. Menjelang umur 2-3 hari atau 60-72 jam setelah
menetas, larva sudah harus diberi rotifera (Brachionus plicatilis)
sebagai makanan sedang air media diperkaya chlorella sp sebagai makanan
rotifera dan pengurai metabolit.
b. Kepadatan rotifera pada awal pemberian 5-10
ind/ml dan meningkat jumlahnya sampai 15-20 ind/ml mulai umur larva mencapai 10
hari. Berdasarkan kepadatan larva 40 ekor/liter, jumlah chlorella : rotifer :
larva = 2.500.000: 250 : 1 pada awal pemeliharaan atau sebelum 10 hari setelah
menetas, atau = 5.000.000 : 500:1 mulai hari ke 10 setelah menetas.
c. Pakan buatan (artificial feed) diberikan apabila
jumlah rotifera tidak mencukupi pada saat larva berumur lebih dari 10 hari.
Sedangkan penambahan Naupli artemia tidak mutlak diberikan tergantung dari
kesediaan makanan alami yang ada.
d. Perbandingan yang baik antara pakan alami dan
pakan buatan bagi larva bandeng 1 : 1 dalam satuan jumlah partikel. Pakan
buatan yang diberikan sebaiknya berukuran sesuai dengan bukaan mulut larva pada
tiap tingkat umur dan mengandung protein sekitar 52%. Berupa. Pakan buatan
komersial yang biasa diberikan untuk larva udang dapat digunakan sebagai pakan
larva bandeng.
11)
Budidaya Chlorella
Kepadatan chlorella yang dihasilkan harus mampu
mendukung produksi larva yang dikehendaki dalam kaitan dengan ratio volume yang
digunakan dan ketepatan waktu. Wadah pemeliharaan chlorella skala kecil
menggunakan botol kaca/plastik yang tembus cahaya volume 3-10 liter yang berada
dalam ruangan bersih dengan suhu 23-25 0C, sedangkan untuk skala besar
menggunkan wadah serat kaca volume 0,5-20 ton dan diletakkan di luar ruangan
sehingga langsung dengan kepadatan ± 10 juta sel/m3. Panen chlorella dilakukan
dengan cara memompa, dialirkan ke tangki-tangki pemeliharaan rotifera dan larva
bandeng. Pompa yang digunakan sebaiknya pompa benam (submersible) untuk
menjamin aliran yang sempurna. Pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah
penampungan serta saringan yang bermata jaring 60-70 mikron, berukuran 40x40x50
cm, di bawah aliran tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan
ke wadah lain dan dihitung kepadatanya per milimeter.
12)
Budidaya Rotifera.
Budidaya rotifera skala besar sebaiknya dilakukan dengan cara harian yaitu sebagian hasil panen disisakan untuk bibit dalam budidaya berikutnya (daily partial harvest). Sedangkan dilakukan dengan cara panen penuh harian (batch harvest). Kepadatan awal bibit (inokulum) sebaiknya lebih dari 30 individu/ml dan jumlahnya disesuaikan dengan volume kultur, biasanya sepersepuluh dari volume wadah. Wadah pemeliharaan rotifer menggunakan tangki serat kaca volume 1-10 ton diletakkan terpisah jauh dari bak chrollela untuk mencegah kemungkinan mencemari kultur chlorella dan sebaiknya beratap untuk mengurangi intensitas cahaya matahari yang dapat mempercepat pertumbuhan chlorella.
Gambar Chlorela
Keberhasilan budidaya rotifera berkaitan dengan
ketersediaan chlorella atau Tetraselmis yang merupakan makanannya. Sebaiknya
perbandingan jumlah chlorella dan rotifer berkisar 100.000 : 1 untuk
mempertahankan kepadatan rotifer 100 individu/ml. Pada kasus-kasus tertentu
perkembangan populasi rotifer dapat dipacu dengan penambahan air tawar sampai
23 ppt. Apalagi jumlah chlorella tidak mencukupi dapat digunakan ragi (yeast)
pada dosis 30 mg/1.000.000 rotifer. Panen rotifer dilakukan dengan cara membuka
saluran pembuangan dan sebelumnya telah disiapkan wadah penampungan serta
jaringan yang bermata jaring 60-70 mikro berukuran 40x40x50 cm, di bawah aliran
tersebut. Rotifer yang tertampung pada saringan dipindahkan ke wadah lain dan
dihitung kepadatannya per milimeter. Pencatatan tentang perkembangan rotifer
dilakukan secara teratur dan berkala serta data hasil pengamatan dicatat untuk
mengetahui perkembangan populasi serta cermat dan untuk bahan pertimbangan
pemeliharaan berikutnya.
Sumber:
Tristian, 2011. Budidaya Ikan Bandeng
(Chanos chanos): Modul Penyuluhan Perikanan. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan
dan Perikanan BPSDMKP.
👍
BalasHapusTulisannya sangat menginsfirasi, trima ksh
BalasHapusBagus sekali artikelnya
BalasHapus