Jumat, 22 November 2019

KEKAYAAN SUMBERDAYA PERAIRAN INDONESIA







Kekayaan sumberdaya laut Indonesia sangat berlimpah menyusul dua pertiga wilayah Indonesia terdiri dari laut potensi perikanan sebesar 6,26 juta ton/tahun dengan keragaman jenis ikan namun belum seluruhnya dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2005 total produksi perikanan 4,71 juta ton dimana 75 % (3,5 juta ton) berasal dari tangkapan laut. Apabila dilihat dari tingkat pemanfaatan terutama untuk ikan-ikan non ekonomis belum optimal hal ini disebabkan pemanfaatannya masih terbatas dalam bentuk olahan tradisional dan konsumsi segar. Akibatnya ikan-ikan tidak ditangani dengan baik dikapal sehingga ikan yang didaratkan bermutu rendah (20–30%), sehingga berdampak pada tingginya tingkat kehilangan (losses) sekitar 30-40%. Lebih jauh lagi ekspor hasil perikanan Indonesia hingga saat ini masih didominasi oleh ikan dalam bentuk gelondongan dan belum diolah.
Salah satu usaha yang cukup menjanjikan untuk masa depan yang cerah ialah bergelut dalam dunia perikanan. Mengapa demikian? Karena secara garis besar potensi laut yang dimiliki Indonesia lebih kaya dan luas disbanding daratannya. Namun terkadang masih ada masalah yang sering muncul terutama bagi para nelayan yang berada dipinggir pesisir masih banyak yang berada dibawah garis kemiskinan. Sehingga campur tangan pemerintah dalam usaha untuk meminimalisir segenap masalah yang ada. Setidaknya dengan program pemerintah yang dijalankan untuk bidang perikanan diharapkan sedikit ada perubahan tingkat kesejahteraan untuk masyarakan nelayan pesisir yang juga mempunyai peranan penting dalam perputaran roda kehidupan kita.
Hal yang mungkin tidak tampak oleh masyarakat umum mengenai kehidupan masyarakat pesisir ialah keterbatasan dari segi ekonomi yang biasanya pula disebabkan oleh ulah orang-orang yang bergelut dikepemerintahan yang tidak bertangggung jawab. Maka dari itu pihak yang berperan penting untuk kembali memulihkan keadaan yang optimal ialah pihak pemerintah juga yang harus didukung oleh segenap masyarakat umum agar tercapai apa yang diharapkan. Sebagai industri yang bertumpu kepada proses biologis dunia perikanan adalah dunia pedesaan. Data statistik menunjukkan lebih dari 54 persen dari angkatan kerja pedesaan bermata pencaharian di bidang pertanian/perikanan dengan rata-rata pendapatan relatif lebih rendah dibandingkan dengan saudara-saudaranya yang bekerja di sektor lain dan yang tinggal di perkotaan. Rendahnya pendapatan penduduk pedesaan terutama yang bekerja di sektor perikanan ada hubungannya dengan struktur pedesaan yang kurang kondusif bagi perkembangan agribisnis yang dinamik dan kompetitif karena sosok usahatani perikanan yang lemah prasarana fisik dan non fisik yang masih belum memadai serta terbatasnya jangkauan pasar.
Kita semua mengetahui bahwa hampir sebagian besar produksi hasil perikanan adalah hasil jerih payah nelayan yang bertumpu kepada usahatani keluarga, yang didukung dengan sumberdaya manusia dan iptek yang masih tertinggal. Kondisi struktural demikian itu menyebabkan terbatasnya kemampuan nelayan untuk menjangkau sarana produksi dan kesempatan memperoleh sinergi yang diperlukannya untuk berkembang.
Ditinjau dari aspek dukungan pendanaan dari perbankan ternyata investasi perikanan juga sangat kurang diminati dunia usaha. Hal ini menjadi salah satu indikator dari adanya suku bunga perbankan yang dirasakan terlalu tinggi untuk usahatani di pedesaan dan fakta bahwa lembaga dan sistem perbankan belum sepenuhnya menjangkau nelayan baik dari segi kelembagaan maupun prosedurnya. Andaikata jangkauan tersebut sampai kepada sasarannya ternyata lembaga perbankan justru telah menjadi sarana untuk mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan, karena pedesaan lebih banyak menyimpan daripada meminjam. Disini terlihat bahwa ketertinggalan dan keterbatasan nelayan ternyata merupakan faktor kondisional yang berada dibalik mengalirnya dana dari pedesaan ke perkotaan tersebut.
Kondisi lain yang ikut memperlambat laju penanaman modal di sektor pertanian khususnya perikanan adalah keharusan untuk sejak awal menerapkan pendekatan terpadu yang utuh. Produk perikanan mempunyai karakteristik yang mudah rusak dan bervolume dengan dibandingkan nilainya. Penanganan pasca panen, penyimpanan, pengolahan, pengangkutan dan lancarnya pemasaran menjadi sangat penting. Apabila penanam modal tidak mampu menerapkan prinsip integrasi vertikal dalam investasinya maka ia terpaksa harus bergantung kepada adanya investasi lain yang menjamin hadirnya semua mata rantai yang diperlukan agar produknya dapat dipasarkan dengan baik.
Kebijakan perikanan sebenarnya telah disusun memenuhi sistem agribisnis yang diharapkan yaitu salah satunya adalah berusaha meningkatkan keterkaitan antara subsistem sehingga setiap kegiatan pada masing-masing subsistem dapat berjalan secara berkelanjutan dengan tingkat efisiensi yang tinggi. Namun dalam kenyataannya pola ini masih berkembang untuk beberapa desa di pedesaan Jawa, dan belum menyentuh ke Propinsi Riau.
Untuk itu ke depan kiranya perlu dipikirkan pembangunan prasarana dan sarana yang memadai guna mendukung budidaya perikanan yang p otensial melalui kajian yang memadai. Propinsi Riau merupakan sentra perikanan yang strategis karena letaknya berupa perairan dan laut. Sebagai konsekuensinya, usaha pengolahan produk hasil perikanan di Indonesia dari total produksi tangkapan laut, sebesar 57,05 % dimanfaatkan dalam bentuk basah, sebesar 30,19% bentuk olahan tradisional dan sebesar 10,90 % bentuk olahan modern dan olahan lainnya 1,86%. Sedangkan dari ekspor tahun 2005 sebesar 80% diantaranya didominasi produk olahan modern sedangkan produk olahan tradisional hanya sekitar 6% saja. Disisi lain ikan hasil tangkapan samping (HTS/by catch) pukat udang dan tuna serta sisa olahan (by product) industri perikanan belum pula dimanfaatkan secara optimal sehingga ikan tangkapan samping khususnya ikan-ikan non ekonomis/sisa hasil industri yang tidak termanfaatkan dibuang ke laut atau ditimbun dengan tanah dengan demikian terjadi kehilangan nilai jual ikan. Sektor perikanan memegang peranan penting dalam perekonomian nasional terutama dalam penyediaan lapangan kerja (padat karya) sumber pendapatan bagi nelayan, sumber protein hewani dan sumber devisa bagi negara. Salah satu usaha untuk meningkatkan nilai dan mengoptimalkan pemanfaatan produksi hasil tangkapan laut adalah dengan pengembangan produk bernilai tambah baik olahan tradisional maupun modern. Namun produk bernilai tambah yang diproduksi di Indonesia masih dari ikan ekonomis seperti tuna/udang kaleng, tuna steak, loin dan lain sebagainya yang memiliki nilai jual meski tanpa dilakukan proses lanjutan. Sedangkan apabila ingin merubah nilai jual ikan non ekonomis maka salah satu cara yang bisa ditempuh adalah melalui teknologi produk perikanan (pengembangan produk hasil perikanan) agar lebih bisa diterima oleh masyarakat dan sesuai dengan selera pasar dalam rangka memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, aman, sehat melalui asupan gizi/vitamin/protein dari produk hasil perikanan dan ketahanan pangan.
Yang menjadi strategis dalam pengembangan usaha pengolahan dan pemasaran hasil perikanan sebagai berikut :
  1. Lemahnya jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan (quality assurance dan food safety) Pihak pembeli dari negara lain menuntut kepada Indonesia (para eksportir) agar produk yang dihasilkan memenuhi ketentuan ketentuan sbb : penerapan HACCP, Bioterrorism Act, sanitasi kekerangan, cemaran logam berat dan histamin pada tuna dan certificate eco labelling selain health certificate. Hal ini disebabkan oleh lemahnya jaminan dan keamanan hasil perikanan (quality assurance dan food safety) di Indonesia.
  2. Tingginya tingkat kehilangan (losses) mencapai sekitar 27,8% Untuk mendapatkan hasil/produk yang bermutu baik, maka sangat diperlukan bahan baku yang bermutu baik pula. Hal ini menjadi tuntutan dan syarat mutlak bagi konsumen. Apabila hal ini tidak dipenuhi, maka yang terjadi adalah banyaknya banyaknya terjadi tingkat kehilangan (losses). Penyebab lain adalah rendahnya pengetahuan nelayan, pengolah, petugas TPI/PPI mengenai cara penanganan dan pengolahan yang baik (Good Manufacturing Practice/GMP).
  3. Kurangnya intensitas promosi dan rendahnya partisipasi stakeholders Produk perikanan yang bernilai tambah (value added products) dimasyarakat belum populer, hal ini disebabkan oleh masih kurangnya intensitas promosi serta rendahnya partisipasi stakeholders (khususnya produsen produk perikanan) dalam mengembangkan program promosi.
  4. Terbatasnya sarana penangan ikan di atas kapal distribusi dan terbatasnya sarana pabrik es dan air bersih.
  5. Kurangnya bahan baku industri pengolahan ini disebabkan oleh belum adanya kerjasama antara industri penangkapan dan pengolahan sehingga perusahaan penangkapan cenderung mengekspor ikan dalam bentuk ikan utuh (gelondongan).
  6. Bahan baku belum standar Sebanyak 85% produksi perikanan tangkap didominasi/dihasilkan oleh nelayan skala kecil dan pada umumnya kurang memenuhi standar bahan baku industri pengolahan.
  7. Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya Maraknya bahan kimia berbahaya dalam penanganan dan pengolahan ikan misalnya formalin, borax, zat pewarna, CO, antiseptik, pestisida, antibiotik (chloramphenol, Nitro Furans, OTC). Hal ini disebabkan oleh substitusi bahan pengganti tersebut kurang tersedia dan peredaran bahan kimia berbahaya bebas murah dan sangat mudah diperoleh.
  8. Jenis ragam produk dan pengembangan produk bernilai tambah belum berkembang (value added products) optimal dan belum populer Meskipun kajian dan hasil penelitian pemanfaatannya sudah banyak tersedia namun produksi secara masal belum dapat direalisasikan. Banyak kendala yang menyebabkannya salah satu diantaranya adalah ketersediaan sarana dan prasarana, mahalnya peralatan, kurangnya teknologi serta masalah kontinuitas suplai bahan baku.
  9. Rendahnya konsumsi ikan perkapita disebabkan oleh belum meratanya distribusi/suplai tidak kontinyu, masih banyak produk yang berkualitas kurang prima di pasaran, kurangnya pengetahuan masyarakat akan manfaat makan ikan, masih adanya budaya dan kondisi sosial masyarakat yang kurang kondusif terhadap peningkatan konsumsi ikan serta belum meratanya program GEMAR IKAN di seluruh daerah.
  10. Informasi teknologi terbatas terbatasnya informasi dan teknologi penanganan dan motivasi serta keinginan untuk meningkatkan pengetahuan/keterampilan masih rendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar