Pengertian
”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara
eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal fishing dapat
dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The
Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal” artinya tidak sah,
dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” artinya ikan atau daging ikan
dan ”fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat
menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan
bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan
perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana
dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat Izin
Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin
tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan
jenis dan ukuran yang dilarang.
Penegakan
hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara
atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum
nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh
setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk
memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain.
Penegakan
hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang
terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk
menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka
yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam
penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran
dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional
maupun nasional.
Delik/tindak
pidana ialah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana, dan karena itu
bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang
dapat dipertanggungjawabkan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh
ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara
apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya.
Surat
Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disebut SIPI adalah izin tertulis yang
harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. Surat Izin Usaha Perikanan yang
selanjutnya disebut SIUP adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan
perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi
yang tercantum dalam izin tersebut.
Indonesia
merupakan Negara kepulauan yang memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6
juta km² dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan berbagai potensi
sumberdaya terutama perikanan laut yang cukup besar. Kondisi perikanan dunia
saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep
pengelolaan yang berbasis lingkungan dikhawatirkan sumberdaya yang sangat
potensial ini sebagai sumber protein yang sehat dan murah-bisa terancam
kelestariannya. Kondisi ini tidak terlepas dari semakin terancamnya kehidupan
biota biota dan lingkungan perairannya.
Dengan
demikian sangat diperlukan upaya untuk mengelola sumberdaya perairan secara
bijak dan konsisten untuk menjaga kelestariannya. Hal ini terutama dalam
menjaga keseimbangan antara biota dan abiota. Menurut Sujiran (1984) yang
menyatakan bahwa pentingnya menjaga keseimbangan karena organisme perairan
cenderung membutuhkan yang layak, organisme ini juga sangat terpengaruh dengan
perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan ini yang meliputi
temperatur air, salinitas atau kadar garam, PH, transparansi, gerakan air,
kedalaman, topografi dasar perairan, kandungan dasar perairan, kandungan
oksigen, kandungan nutrisi perairan dsb. Ikan-ikan juga cenderung bergerombol
dalam jumlah yang sesuai dengan kondisi lingkungan dengan segala perubahannya
(Subijakto,2010).
Kegiatan
penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia sudah mendekati kondisi yang
kritis. Tekanan penangkapan yang meningkat dari hari ke hari semakin
mempercepat penurunan stok sumberdaya ikan. Tingginya tekanan penangkapan khususnya
di pesisir pantai telah menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan dan
meningkatnya kompetisi antar alat penangkapan ikan yang tidak jarang
menimbulkan konflik diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya pendapatan
nelayan melakukan berbagai macam inovasi dan modifikasi alat penangkapan ikan
untuk menutupi biaya operasi penangkapannya. Pelanggaran penggunaan alat
tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam kegiatan
penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl (pukat
harimau) secara illegal di beberapa wilayah peraiaran.
Pemerintah
(dalam hal ini DKP) sebenarnya tidak menutup mata atas semua kejadian
pelanggaran itu. Penegakan hukum terhadap pelanggar memang sudah dilakukan
namun kesulitan mengontrol seluruh aktivitas nelayan khususnya di daerah
terpencil dan perbatasan telah mendorong meningkatnya pelanggaran penangkapan
ikan (illegal fishing).
Pelanggaran Dalam Hukum Dan Peraturan Perikanan.
Sudah
bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (illegal fishing) di
perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara
ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi
beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung
sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal
nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu.
Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar,
sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita.
Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi sebagai
penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu : (1) Luasnya
potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3)
Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor
perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005) mengatakan
bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta penambangan pasir secara illegal
selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka kerugian negara di sektor
perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang
mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya
pencurian ikan secara ilegal (illegal fishing) oleh kapal asing merupakan
fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak
kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara
nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9)
menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal
penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit.
Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand
mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540
ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton
merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa
langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil
kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak.
Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung
menguntungkan pihak asing.
Hal
ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan perusahan pertambangan asing
(freeport, INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National
Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak
perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya
berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat
tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167
dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat
tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi
perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia
hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya
Thailand mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar
dollar AS (Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika
sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil
perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain) (Abidin, 2006).
Seperti
dijelaskan oleh Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa semakin menipisnya
sumberdaya alam di wilayah daratan menyebabkan banyak program pembangunan yang
bergeser ke wilayah pesisir dan lautan yang dinilai masih memiliki sumberdaya
bernilai ekonomis tinggi. Upaya untuk meningkatkan peran sumberdaya pesisir dan
kelautan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat ternyata selama ini masih dihadapkan pada beberapa
kendala. Antara lain kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir, keterbatasan
peraturan, konflik penggunaan ruang, kerusakan lingkungan.Manurut Dahuri
(2001), bahwa ada beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya
keanekaragaman hayati laut adalah : (1) pemanfatan berlebih (over exploitation)
sumberdaya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang
merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran,
(5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan
pembangunan lainnya, dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam
(Subijakto, 2010).
Salah
satu Reformasi dibidang Hukum dan perundangan yang dilakukan Negara Republik
Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 yang
kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan.
Untuk Indonesia undang-undang ini amatlah penting mengingat luas perairan kita
yang hampir mendekati 6 juta kilometer persegi yang mencakup perairan
kedaulatan dan yuridiksi nasional memerlukan perhatian dan kepedulian kita
semua, utamanya yang menyangkut upaya penegakan hukum dan pengamanan laut dari
gangguan dan upaya pihak asing.
Keberadaan
Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan langkah positif dan merupakan
landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim Perikanan dalam memutuskan
persoalan hukum yang terkait dengan Illegal Fishing, yang dampaknya sangat
merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat merusak perekonomian bangsa.
Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia menyebabkan
kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar (USD/tahun). Setiap
tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara illegal di
perairan Indonesia.
Illegal
fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak hanya
terjadi di Indonesia saja, ada beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui
bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan
berkelanjutan. Data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang, kesalahan
mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu,
menangkap ikan dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK tidak
disijil dan pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing
yang tidak memiliki ijin kerja.
Selain
itu beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain
ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut.
Ketidakpastian hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda
atas aturan yang ada, inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam
pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing yang melanggar, persengkokolan
antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan. Peradilan terhadap
pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korup.
Dalam
UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat jelas bahwa illegal
fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran yang dilakukan.
Sanksi pidana penjara dan denda tidak diterapkan semestinya. Ketidakjelasan
lainnya adalah ganjaran/sanksi terhadap birokrasi perijinan dan pengawas serta
aparat penegak hukum di laut yang dengan sengaja melakukan pungutan di luar
ketentuan atau meloloskan pelanggar dengan kongkalikong.
Oleh
karena itu para Penegak Hukum seperti Pegawai KKP, Polisi Perairan dan TNI-AL
diharapkan secara maksimal dapat menjaga laut kita dari pencurian Ikan dan
kejahatan lainnya. Dibentuknya Pengadilan ad hoc Perikanan diharapkan juga
mampu untuk menjawab persoalan kejahatan pencurian ikan yang tercermin dalam
putusan-putusan yang dihasilkan, baik kejahatan yang dilakukan oleh warga
negara maupun yang dilakukan oleh warganegara asing. Dan dari putusan-putusan
ini diharapkan ada efek jera bagi para pelaku kejahatan IUU Fishing. Penegakan
Hukum IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) Fishing Dalam Unclos 1982.
Dalam
hal penegakan hukum termasuk penegakan hukum bagi pelaku IUU Fishing, UNCLOS
1982 secara garis besar membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah
laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki
yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatan suatu negara
pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial atau perairan
kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara
pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan Landas
Kontinen.
Wilayah
ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut
terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas
ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai
kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat
tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik
sumber daya hayati maupun non-hayati.
Di
dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi:
(1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2)
membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3) pembangunan pulau buatan
dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan
(5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE
meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah
ZEE; (2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal
ini perikanan; dan (3) dalam hal negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan
allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable
catch melalui perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya
kelautan terutama sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.
UNCLOS
1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang illegal fishing muncul
bersama-sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing
practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation
of Artarctic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. IUU
Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok :
- Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;
- Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan
- Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.
Praktek
IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan maupun
di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu
sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing
tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum
baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara.
Terima kasih infonya!
BalasHapus