Selasa, 07 Desember 2021

ILLEGAL FISHING PART 1



Pengertian ”illegal fishing” dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal fishing dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, ”illegal” artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum. “Fish” artinya ikan atau daging ikan dan ”fishing” artinya penangkapan ikan sebagai mata pencaharian atau tempat menangkap ikan. Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat dikatakan bahwa ”illegal fishing” menurut bahasa berarti menangkap ikan atau kegiatan perikanan yang dilakukan secara tidak sah. Menurut Divera Wicaksono sebagaimana dikutip Lambok Silalahi bahwa illegal fishing adalah memakai Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) palsu, tidak dilengkapi dengan SIPI, isi dokumen izin tidak sesuai dengan kapal dan jenis alat tangkapnya, menangkap ikan dengan jenis dan ukuran yang dilarang.
Penegakan hukum adalah merupakan usaha atau kegiatan negara berdasarkan kedaulatan negara atau berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, baik aturan hukum nasional itu sendiri maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan oleh setiap orang dan atau badan-badan hukum, bahkan negara-negara lain untuk memenuhi kepentingannya namun tidak sampai mengganggu kepentingan pihak lain.
Penegakan hukum dalam pengertian yustisial diartikan sebagai suatu proses peradilan yang terdiri dari kegiatan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan hakim, hal ini bertujuan untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Berdasarkan pengertian yustisial maka yang dimaksud dengan penegakan hukum di laut ialah suatu proses kegiatan dalam penyelesaian suatu perkara yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran dilaut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum internasional maupun nasional.
Delik/tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar undang-undang pidana, dan karena itu bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya.
Surat Izin Penangkapan Ikan yang selanjutnya disebut SIPI adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP. Surat Izin Usaha Perikanan yang selanjutnya disebut SIUP adalah izin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki laut yang luas yaitu lebih kurang 5,6 juta km² dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dengan berbagai potensi sumberdaya terutama perikanan laut yang cukup besar. Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan dikhawatirkan sumberdaya yang sangat potensial ini sebagai sumber protein yang sehat dan murah-bisa terancam kelestariannya. Kondisi ini tidak terlepas dari semakin terancamnya kehidupan biota biota dan lingkungan perairannya.
Dengan demikian sangat diperlukan upaya untuk mengelola sumberdaya perairan secara bijak dan konsisten untuk menjaga kelestariannya. Hal ini terutama dalam menjaga keseimbangan antara biota dan abiota. Menurut Sujiran (1984) yang menyatakan bahwa pentingnya menjaga keseimbangan karena organisme perairan cenderung membutuhkan yang layak, organisme ini juga sangat terpengaruh dengan perubahan kondisi lingkungan. Perubahan kondisi lingkungan ini yang meliputi temperatur air, salinitas atau kadar garam, PH, transparansi, gerakan air, kedalaman, topografi dasar perairan, kandungan dasar perairan, kandungan oksigen, kandungan nutrisi perairan dsb. Ikan-ikan juga cenderung bergerombol dalam jumlah yang sesuai dengan kondisi lingkungan dengan segala perubahannya (Subijakto,2010).
Kegiatan penangkapan ikan di wilayah perairan Indonesia sudah mendekati kondisi yang kritis. Tekanan penangkapan yang meningkat dari hari ke hari semakin mempercepat penurunan stok sumberdaya ikan. Tingginya tekanan penangkapan khususnya di pesisir pantai telah menyebabkan menurunnya stok sumber daya ikan dan meningkatnya kompetisi antar alat penangkapan ikan yang tidak jarang menimbulkan konflik diantara nelayan. Sebagai akibat dari menurunnya pendapatan nelayan melakukan berbagai macam inovasi dan modifikasi alat penangkapan ikan untuk menutupi biaya operasi penangkapannya. Pelanggaran penggunaan alat tangkap dan metoda penangkapan ikan bukan berita baru lagi dalam kegiatan penangkapan ikan. Salah satunya adalah pelanggaran penggunaan trawl (pukat harimau) secara illegal di beberapa wilayah peraiaran.
Pemerintah (dalam hal ini DKP) sebenarnya tidak menutup mata atas semua kejadian pelanggaran itu. Penegakan hukum terhadap pelanggar memang sudah dilakukan namun kesulitan mengontrol seluruh aktivitas nelayan khususnya di daerah terpencil dan perbatasan telah mendorong meningkatnya pelanggaran penangkapan ikan (illegal fishing).
Pelanggaran Dalam Hukum Dan Peraturan Perikanan.
Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau fenomena pencurian ikan (illegal fishing) di perairan Indonesia menjadi sangat marak. Kegiatan penangkapan ikan secara ilegal oleh kapal berbendera asing di perairan indonesia, bukan terjadi beberapa tahun terakhir ini saja. Akan tetapi kegiatan ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun. Kapal berbendera asing tersebut menyamar sebagai kapal nelayan indonesia, ada juga yang menggunakan surat ijin penangkapan palsu. Harus kita akui juga, bahwa kebijakan kelautan kita yang masih longgar, sehingga memungkinkan kapal-kapal asing untuk masuk menjarah hasil laut kita. Menurut Sudarmin (Fajar, 10/7) bahwa banyak faktor yang teridentifikasi sebagai penyebab terjadinya illegal fishing di perairan indonesia yaitu : (1) Luasnya potensi laut yang belum terolah, (2) Peluang bisnis ikan yang menggiurkan, (3) Kelemahan penegakan hukum, (4) Mentalitas aparat, dan (5) Hambatan dari faktor perundang-undangan. Ekonom senior Kwik Kian Gie (Kompas, 26/3/2005) mengatakan bahwa kerugian negara akibat pencurian ikan serta penambangan pasir secara illegal selama ini yakni sebesar Rp 76,5 triliun. Angka kerugian negara di sektor perikanan menempati urutan kedua setelah kerugian dari sektor pajak yang mencapai angka sebesar Rp 215 triliun.
Maraknya pencurian ikan secara ilegal (illegal fishing) oleh kapal asing merupakan fenomena yang kontras dan menyakitkan hati masyarakat kita. Betapa tidak kekayaan laut kita dengan seenaknya dirampas oleh nelayan asing, sementara nelayan kita tidak bisa menikmati hasil laut sendiri. Data Kompas (27/9) menyebutkan bahwa Thailand merupakan salah satu negara yang memiliki kapal penangkap ikan terbanyak yang beroperasi secara ilegal sebanyak 500 unit. Sedangkan yang legal sebanyak 306 unit. Dari hasil penagkapan itu, Thailand mampu memproduksi hasil tangkapan dengan total penangkapan sebesar 72.540 ton/tahun, meliputi 27.540 ton ditangkap secara legal, sisanya 45.000 ton merupakan hasil tangkapan secara ilegal. Hasil tangkapan tersebut dibawa langsung ke Thailand. Ironisnya lagi selama ini, indonesia sebagai pengambil kebijakan sekaligus sebagai penghasil ikan justru tidak mampu berbuat banyak. Bukan rahasia umum lagi, kalo model kerja sama seperti ini cenderung menguntungkan pihak asing.
Hal ini mengingatkan kita pada model kerja sama dengan perusahan pertambangan asing (freeport, INCO dan perusahaan sejenis dengan model pengelolaan Trans National Corporate/TNC) dimana kita hanya mengandalkan atau berharap pada pajak perijinan pengoperasian saja. Demikian juga dengan sektor perikanan kita, hanya berharap pada pajak perijinan pengoperasian kapal sesuai dengan penggunaan alat tangkap saja. Dalam setahun, untuk alat tangkap jenis pukat dikenakan biaya 167 dollar AS/Gross Ton (GT), alat tangkap jenis pursen 254 dollar AS/GT dan alat tangkap gilnet sebesar 54 dollar AS/GT. Jika dilihat dari hasil transaksi perdagangan produk perikanan dunia senilai 70 miliar dollar AS/tahun, indonesia hanya mampu meraup 2,2 miliar dollar AS atau sekitar 2,8 persen. Sebaliknya Thailand mampu meraup 4 miliar dollar AS dan Cina mendapatkan porsi 25 miliar dollar AS (Kompas, 27/9). Oleh karenanya, sungguh sesuatu yang ironis jika sekiranya kita masih mengangap sebagai negara bahari, sementara hasil-hasil perikanan di bawa kabur oleh kapal asing (negara lain) (Abidin, 2006).
Seperti dijelaskan oleh Supriharyono (2000) yang menyatakan bahwa semakin menipisnya sumberdaya alam di wilayah daratan menyebabkan banyak program pembangunan yang bergeser ke wilayah pesisir dan lautan yang dinilai masih memiliki sumberdaya bernilai ekonomis tinggi. Upaya untuk meningkatkan peran sumberdaya pesisir dan kelautan dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat ternyata selama ini masih dihadapkan pada beberapa kendala. Antara lain kemiskinan nelayan dan masyarakat pesisir, keterbatasan peraturan, konflik penggunaan ruang, kerusakan lingkungan.Manurut Dahuri (2001), bahwa ada beberapa faktor utama yang mengancam kelestarian sumberdaya keanekaragaman hayati laut adalah : (1) pemanfatan berlebih (over exploitation) sumberdaya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkap ikan yang merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran, (5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukan pembangunan lainnya, dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam (Subijakto, 2010).
Salah satu Reformasi dibidang Hukum dan perundangan yang dilakukan Negara Republik Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan. Untuk Indonesia undang-undang ini amatlah penting mengingat luas perairan kita yang hampir mendekati 6 juta kilometer persegi yang mencakup perairan kedaulatan dan yuridiksi nasional memerlukan perhatian dan kepedulian kita semua, utamanya yang menyangkut upaya penegakan hukum dan pengamanan laut dari gangguan dan upaya pihak asing.
Keberadaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 ini merupakan langkah positif dan merupakan landasan/aturan bagi Penegak Hukum dan Hakim Perikanan dalam memutuskan persoalan hukum yang terkait dengan Illegal Fishing, yang dampaknya sangat merugikan negara bahkan telah disinyalir dapat merusak perekonomian bangsa. Lebih jauh lagi kegiatan illegal fishing di perairan Indonesia menyebabkan kerugian negara rata-rata mencapai 4 sampai dengan 5 milyar (USD/tahun). Setiap tahunnya sekitar 3.180 kapal nelayan asing beroperasi secara illegal di perairan Indonesia.
Illegal fishing dikenal dengan illegal, unregulated, unreported fishing tidak hanya terjadi di Indonesia saja, ada beberapa negara kawasan Asia Pasifik mengakui bahwa IUU Fishing menjadi musuh yang harus diberantas demi usaha perikanan berkelanjutan. Data-data kapal yang ditangkap oleh kapal perang, kesalahan mereka sangat bervariasi antara lain transfer tanpa ijin, dokumen palsu, menangkap ikan dengan jaring terlarang, menggunakan bahan peledak, ABK tidak disijil dan pelanggaran kemudahan khusus keimigrasian serta tenaga kerja asing yang tidak memiliki ijin kerja.
Selain itu beberapa permasalahan mendasar dalam illegal fishing antara lain ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum, birokrasi perijinan yang semrawut. Ketidakpastian hukum dicirikan oleh beberapa hal seperti pemahaman yang berbeda atas aturan yang ada, inkonsistensi dalam penerapan, diskriminasi dalam pelaksanaan hukuman bagi kapal-kapal asing yang melanggar, persengkokolan antara pengusaha lokal, pengusaha asing dan pihak peradilan. Peradilan terhadap pelanggarpun lambat, berlarut-larut dan korup.
Dalam UU Nomor 9 tahun 1985 maupun UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan sangat jelas bahwa illegal fishing diganjar pidana penjara dan denda sepadan pelanggaran yang dilakukan. Sanksi pidana penjara dan denda tidak diterapkan semestinya. Ketidakjelasan lainnya adalah ganjaran/sanksi terhadap birokrasi perijinan dan pengawas serta aparat penegak hukum di laut yang dengan sengaja melakukan pungutan di luar ketentuan atau meloloskan pelanggar dengan kongkalikong.
Oleh karena itu para Penegak Hukum seperti Pegawai KKP, Polisi Perairan dan TNI-AL diharapkan secara maksimal dapat menjaga laut kita dari pencurian Ikan dan kejahatan lainnya. Dibentuknya Pengadilan ad hoc Perikanan diharapkan juga mampu untuk menjawab persoalan kejahatan pencurian ikan yang tercermin dalam putusan-putusan yang dihasilkan, baik kejahatan yang dilakukan oleh warga negara maupun yang dilakukan oleh warganegara asing. Dan dari putusan-putusan ini diharapkan ada efek jera bagi para pelaku kejahatan IUU Fishing. Penegakan Hukum IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) Fishing Dalam Unclos 1982.
Dalam hal penegakan hukum termasuk penegakan hukum bagi pelaku IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara garis besar membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatan suatu negara pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial atau perairan kepulauan dan laut teritorial. Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi adalah ZEE dan Landas Kontinen.
Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial, dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati maupun non-hayati.
Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3) pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan penelitian ilmiah kelautan; dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable catch untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara pantai tidak mampu memanen keseluruhan allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya perikanan dengan tujuan konservasi.
UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-sama dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Artarctic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 Nopember 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok :
  1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;
  2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan
  3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.
Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan maupun di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara.

1 komentar: