Senin, 30 September 2019

MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP DAN METODE BUDIDAYA RUMPUT LAUT (part 1)




Rumput laut dikenal pertama kali oleh bangsa Cina kira - kira tahun 2700 SM. Pada saat itu rumput laut banyak digunakan untuk sayuran dan obat - obatan. Pada tahun 65 SM, bangsa Romawi memanfaatkannya sebagai bahan baku kosmetik. Namun dengan perkembangan waktu, pengetahuan tentang rumput lautpun semakin berkembang. Spanyol, Perancis, dan Inggris menjadikan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan gelas.

Kapan pemanfaatan rumput laut di Indonesia tidak diketahui. Hanya pada waktu bangsa Portugis datang ke Indonesia sekitar tahun 1292, rumput laut telah dimanfaatkan sebagai sayuran. Baru pada masa sebelum perang dunia ke - 2, tercatat bahwa Indonesia telah mengekspor rumput laut ke Amerika Serikat, Denmark, dan Perancis.

Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau 17.504 buah dan panjang garis pantai mencapai 81.000 km adalah mempunyai potensi yang besar untuk pengembangan budidaya laut. Rumput laut merupakan salah satu komoditas budidaya laut yang dapat diandalkan, mudah dibudidayakan, dan mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat pantai. Rumput laut merupakan salah satu komoditas perdagangan internasional. Komoditas ini telah di ekspor lebih dari 30 negara.

Perairan Indonesia sebagai daerah tropika memiliki sumberdaya rumput laut yang cukup besar baik sebagai sumberdaya plasma nutfah dengan kurang lebih 555 jenis rumput laut di perairan Indonesia (ekspedisi Laut Siboga 1899-1900 oleh Van Bosse). Jenis yang banyak terdapat di perairan Indonesia adalah Gracilaria, Gelidium, Eucheuma, Hypnea, Sargasum dan Turbinaria. Dari beberapa jenis rumput laut telah mampu dikembangkan ratusan jenis produk yang dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang, antara lain pada industri pangan dan non pangan. Sebagian besar rumput laut dari Indonesia masih di ekspor dalam bentuk kering dan baru sebagian kecil diolah dalam bentuk bahan setengah jadi dan bahan jadi. Negara lain selain Indonesia sebagai pengahasil rumput laut adalah Jepang, Amerika Serikat, Kanada, daratan Eropa, Filipina, Thailand, Malaysia, India ,Chili dan Madagaskar. Perkembangan ekspor selama lima tahun terakhir, menunjukan peningkatan perolehan devisa Indonesia dari rumput laut sebesar 43,04% per tahun yaitu dari US$ 5,935 juta tahun 1998 meningkat menjadi US$ 15,785 juta pada tahun 2002. Perolehan devisa dari negara Spanyol, China dan USA dalam dua tahun terakhir ini memperlihatperkembangan yang menggembirakan yaitu meningkat masing-masing sebesar 122,2% pertahunnya untuk Spanyol, 533,25% untuk China dan 184,68% untuk USA. Perolehan devisa ekspor rumput laut Indonesia selama tahun 2002 mencapai US$ 15,785 juta terutama berasal dari negara China senilai US$ 2,553 juta (16,17%), Spanyol senilai US$ 2,351 juta (14,90%) dan Denmark senilai US$ 2,132 juta (13,51%).

Jenis alga merah yang mempunyai nilai ekonomis adalah Eucheuma sp, Gracilaria sp, Gelidium sp, Sargassum sp dan Turbinaria sp. Dari jenis tersebut yang telah dibudidayakan adalah jenis Eucheuma sp dan Gracilaria sp. Eucheuma sp dibudidayakan di perairan pantai/laut, sedangkan Gracilaria sp dapat dibudidayakan di tambak.

Dalam budidaya rumput laut Euchema sp. yang telah dikembangkan di Indonesia terdapat beberapa teknik yaitu Metoda Lepas Dasar, Metoda Rakit Apung, Metoda Jalur (kombinasi), Metoda Rawai (Longline) dan metode keranjang. Sedangkan budidaya rumput laut Gracilaria sp. terdapat dua metode yaitu Metode Tebar dan Metode Lapas Dasar.


1. JENIS RUMPUT LAUT POTENSIAL

Rumput laut dibagi dalam empat kelas yaitu : Chlorophyceae (ganggang hijau), Rhodophyceae (ganggang merah), Cyanophyceae (ganggang biru), Phaeophyceae (ganggang coklat).

Jenis rumput laut potensial yang dimaksud disini adalah jenis rumput laut yang sudah dikenal digunakan diberbagai industri sebagai sumber karagin, agar-agar dan alginat. Karaginofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida karagin, agarofit adalah rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida agar-agar keduanya merupakan rumput laut merah (Rhodophyceae). Alginofit adalah rumput laut cokelat (Phaeophyceae) yang mengandung bahan utama polisakarida alginat.


1.1. Karagenofit 
Rumput laut yang mengandung karaginan adalah dari marga Eucheuma. Karaginan ada tiga macam, yaitu iota karaginan dikenal dengan tipe spinosum, kappa karaginan dikenal dengan tipe cottonii dan lambda karaginan. Jenis rumput laut yang potensial adalah E. cottonii dan E. Spinosum merupakan rumput laut yang secara luas diperdagangkan, baik untuk keperluan bahan baku industri di dalam negeri maupun untuk ekspor. Sedangkan E. edule dan Hypnea hanya sedikit sekali diperdagangkan dan tidak dikembangkan dalam usaha budidaya. Hypnea biasanya dimanfaatkan oleh industri agar. Sebaliknya E.cottonii dan E. Spinosum dibudidayakan oleh masyarakat pantai. Dari kedua jenis tersebut E. Cottonii yang paling banyak dibudidayakan karena permintaan pasarnya sangat besar. Jenis lainnya Chondrus spp., Gigartina spp., dan Iridaea tidak ada di Indonesia, mereka merupakan rumput laut sub-tropis.

Rumput laut Eucheuma di Indonesia umumnya tumbuh di perairan yang mempunyai rataan terumbu karang melekat pada substrat karang mati atau kulit kerang ataupun batu gamping di daerah intertidal dan subtidal. Tumbuh tersebar hampir diseluruh perairan Indonesia. Wilayah potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma terletak perairan pantai Nangro Aceh Darusalam (Sabang); Sumatera Barat (Pesisir Selatan, Mentawai); Riau (Kepulauan Riau, Batam); Sumatra Selatan; Bangka Belitung, Banten (dekat Ujung Kulon, Teluk Banten/P.Panjang); DKI Jakarta (Kepulauan Seribu); Jawa Timur (Karimun Jawa, Situbondo dan Banyuwangi Selatan, Madura); Bali (Nusa Dua/Kutuh Gunung Payung, Nusa Penida, Nusa Lembongan); Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat dan Lombok Selatan, pantai Utara Sumbawa Besar, Bima, dan Sumba); Nusa Tenggara Timur ( Maumere, Larantuka, Kupang, P. Roti selatan ); Sulawesi Utara; Gorontalo; Sulawesi Tengah; Sulawesi Tanggara; Sulawesi Selatan; Kalimantan Barat; Kalimantan Selatan (pulau Laut); Kalimantan Timur; Maluku (P. Seram, P. Osi, Halmahera, Aru/Kai).

1.2. Agarofit

Agarofite adalah jenis rumput laut penghasil agar seperti Gracilaria spp. dan Gelidium spp/Gelidiella yang diperdagangkan untuk keperluan industri di dalam negeri maupun untuk diekspor. Agar-agar merupakan polisakarida yang semakin meningkat nilainya bila dapat ditingkatkan menjad agarose. Agar-agar dapat membentuk jeli seperti karaginan tetapi kandungan sulfatnya masih ada, bila sudah bebas dari kandungan sulfat menjadi agarose.

Kualitas agar-agar yang ekstraksi dari Gelidium/Gelidiella lebih tinggi dibanding dari Gracilaria. Dalam industri agar-agar bahan dari Gelidium mutunya dapat ditingkatkan menjadi agarose, sedangkan dari Gracilaria masih belum dapat. Agar-agar dari Gracilaria sudah dapat ditingkatkan menjadi agarose, tetapi masih dalam skala laboratorium.

Jenis yang dikembangkan secara luas adalah Gracilaria spp. Di Indonesia umumnya yang dibudidayakan di tambak adalah jenis Gracilaria verrucosa. Jenis ini mempunyai Thallus berwarna merah ungu dan kadang-kadang berwarna kelabu kehijauan dengan percabangan alternate atau dichotomy, perulangan lateral berbentuk silindris, meruncing di ujung dan mencapai tinggi 1-3 cm serta berdiameter antara 0,5 - 2,0 mm. Gracilaria yang banyak dibudidayakan adalah G. verucosa dan G. gigas , jenis ini berkembang di perairan Sulawesi Selatan ( Jeneponto, Takalar, Sinjai, Bulukumba, Wajo, Paloppo, Bone, Maros ); Pantai utara P. Jawa (Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Brebes, Pemalang, Tuban dan Lamongan); Lombok Barat. Gracilaria selain dipanen dari hasil budidaya juga dipanen dari alam. Panen dari alam kualitasnya kurang baik karena tercampur dengan jenis lain.

1.3. Alginofit 
Alginofite adalah jenis rumput laut penghasil alginat seperti Sargasssum spp., Turbinaria spp., Laminaria spp., Ascophyllum spp., dan Macrocystis spp. Sargassum dan Turbinaria banyak dijumpai di perairan laut Indonesia, sedangkan Laminaria, Ascophyllum dan Macrocystis sedikit dijumpai di Indonesia, karena jenis tersebut hidup di daerah sub-tropis.
Sargassum dan Turbinaria belum diusahakan budidaya karena sangat sulit disamping rendemen alginate dari ke dua jenis tersebut sangat kecil dibandingkan Laminaria yang sudah dibudidayakan di Jepang dan China, dan permintaan sargassum masih sangat terbatas. Penyebaran Sargassum di alam sangat luas terutama di daerah rataan terumbu karang di semua wilayah perairan pantai.

2. BUDIDAYA EUCHEUMA

Faktor – faktor yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut : pemilihan lokasi yang memenuhi persyaratan budidaya, penyediaan bibit yang baik dan cara pembibitan, metoda budidaya dan perawatan, panen, dan penyimpanan.

2.1. Pemilihan Lokasi Budidaya

Faktor utama menunjang keberhasilan budidaya rumput laut adalah pemilihan lokasi yang tepat. Pertumbuhan rumput laut sangat ditentukan oleh kondisi ekologi setempat. Penentuan suatu lokasi harus disesuaikan dengan metode budidaya yang akan digunakan. Penentuan lokasi yang salah berakibat fatal bagi usaha budidaya rumput laut, karena laut yang dinamis tidak dapat diprediksi. Dalam pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut, perlu dipertimbangkan faktor resiko, kemudahan (aksesibilitas) dan faktor ekologis. Faktor tersebut saling berkaitan dan saling mendukung. Untuk memperoleh lokasi tang baik untuk budidaya, pemilihan perlu dilakukan di beberapa lokasi.


2.1.1. Faktor Resiko
a. Masalah Keterlindungan; Untuk menghindari kerusakan secara fisik sarana budidaya maupun rumput laut dari pengaruh angin dan gelombang yang besar, maka diperlukan lokasi yang terlindung. Lokasi yang terlindung biasanya didapatkan di perairan teluk atau perairan terbuka tetapi terlindung oleh adanya penghalang atau pulau di depannya.

b. Masalah Keamanan; Masalah pencurian dan perbuatan sabotase mungkin dapat dialami, sehingga upaya pendekatan kepada beberapa pemilik usaha lain atau menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar, perlu dilakukan.

c. Masalah Konflik Kepentingan.; Beberapa kegiatan perikanan (kegiatan penangkapan ikan, pengumpul ikan hias) dan kegiatan lain (pariwisata, perhubungan laut, industri, taman nasional laut) dapat berpengaruh terhadap aktivitas usaha rumput laut dan dapat mengganggu beberapa sarana rakit.

2.1.2. Faktor Kemudahan
Pemilik usaha budidaya rumput laut cenderung memilih lokasi yang berdekatan dengan tempat tinggal, sehingga kegiatan monitoring dan penjagaan keamanan dapat dilakukan dengan mudah. Kemudian lokasi diharapkan berdekatan dengan sarana jalan, karena akan mempermudah dalam pengangkutan bahan, sarana budidaya, bibit, dan hasil panen. Hal tersebut akan mengurangi biaya pengangkutan.

2.1.3. Faktor Ekologis
Parameter ekologis yang perlu diperhatikan antara lain : arus, kondisi dasar perairan, kedalaman, salinitas, kecerahan, pencemaran, dan ketersediaan bibit dan tenaga kerja yang terampil.

a. Arus; Rumput laut merupakan organisma yang memperoleh makanan melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang cukup akan menghindari terkumpulnya kotoran pada thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar terhadap salinitas maupun suhu air. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20 – 28o. Arus dapat disebabkan oleh arus pasang surut. Besarnya kecepatan arus yang baik antara : 20 – 40 cm/detik. Indikator suatu lokasi yang memiliki arus yang baik biasanya ditumbuhi karang lunak dan padang lamun yang bersih dari kotoran dan miring ke satu arah.

b. Kondisi Dasar Perairan; Perairan yang mempunyai dasar pecahan-pecahan karang dan pasir kasar, dipandang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii. Kondisi dasar perairan yang demikian merupakan petunjuk adanya gerakan air yang baik, sedangkan bila dasar perairan yang terdiri dari karang yang keras, menunjukkan dasar itu terkena gelombang yang besar dan bila dasar perairan terdiri dari lumpur, menunjukkan gerakan air yang kurang.

c. Kedalaman Air; Kedalaman perairan yang baik untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii adalah 30 – 60 cm pada waktu surut terendah untuk (lokasi yang ber arus kencang) metoda lepas dasar, dan 2 - 15 m untuk metoda rakit apung, metode rawai (long-line) dan sistem jalur. Kondisi ini untuk menghindari rumput laut mengalami kekeringan dan mengoptimalkan perolehan sinar matahari.

d. Salinitas; Eucheuma cotonii (sinonim: Kappaphycus alvarezii) adalah alga laut yang bersifat stenohaline, relatif tidak tahan terhadap perbedaan salinitas yang tinggi. Salinitas yang baik berkisar antara 28 - 35 ppt dengan nilai optimum adalah 33 ppt. Untuk memperoleh perairan dengan salinitas demikian perlu dihindari lokasi yang berdekatan dengan muara sungai.

e. Kecerahan; Rumput laut memerlukan cahaya matahari sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangannya yang normal. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 (satu) m. Air yang keruh biasanya mengandung lumpur yang dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air, sehingga kotoran dapat menutupi permukaan thallus, yang akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya

f. Pencemaran; Lokasi yang telah tercemar oleh limbah rumah tangga, industri, maupun limbah kapal laut harus dihindari.

g. Ketersediaan Bibit; Lokasi yang terdapat stock alami rumput laut yang akan dibudidaya, merupakan petunjuk lokasi tersebut cocok untuk usaha rumput laut. Apabila tidak terdapat sumber bibit dapat memperolehnya dari lokasi lain. Pada lokasi dimana Eucheuma cottonii bisa tumbuh, biasanya terdapat pula jenis lain seperti Gracilaria dan Sargassum.

h. Tenaga Kerja; Dalam memilih tenaga kerja yang akan ditempatkan di lapangan sebaiknya dipilih yang bertempat tinggal berdekatan dengan lokasi budidaya, sehingga dapat meningkatkan kinerja dan sekaligus menghemat biaya transportasi.

Sumber:
http//supmladong.kkp.go.id/
SUPM Ladong, 2012. Modul “Budidaya Rumput Laut”. Sekolah Usaha Perikanan Menengah (SUPM) Ladong, Pusat Pendidikan Kelautan dan Perikanan, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Aceh.

1 komentar: