Penegakan
Hukum Di Laut yang Tunduk Di Bawah Kedaulatan.
Jika pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial
atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai
dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat
memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal
tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau
menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1)
UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1)
UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan
yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan Negara pantai
untuk menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum di laut
territorial, perairan pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan
pasal 27 ayat 1), adalah perwujudan dari yurisdiksi teritorialitas.
Penegakan
Hukum di ZEE.
Pasal 27 (5) UNCLOS
1982 selanjutnya merujuk kepada Bab IX (Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan
Laut) dan Bab. V tentang ZEE. Dalam hal pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi,
konsevasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan Negara pantai dapat melakukan
tindakan penegakan hukum.
Bertalian dengan
penegakan hukum negara pantai di ZEE diatur dalam pasal 73 UNCLOS 1982 yang
menentukan :
- Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di zona ekonomi ekskluisf mengambil tindakan sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
- Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
- Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebalik-nya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
- Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memeberitahu kepada negara bendera kapal melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Report
this ad
Jadi berdasarkan
Pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak mematuhi peraturan
perundang-undangan perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki,
memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan
memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang
ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan
yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman yang dijatuhkan tidak
boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara.
Penegakkan
Hukum IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) Fishing Di Indonesia.
Penegakan hukum
terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan melalui proses peradilan pidana
sebagaimana ditegaskan dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
(Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) dimana setiap bentuk tindak pidana yang
terjadi ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi.
Pre Ajudikasi : Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum yang
telibat secara langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik PNS)
serta Jaksa (Kejaksaan). Penegak hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan
informasi maupun laporan mengenai adanya suatu tindak pidana Illegal Fishing
namun tidak jarang pula adanya tindakan langsung oleh Kepolisian maupun
Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri, seperti sering
dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun
demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan
diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara
optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari berbagai lembaga
penegak hukum atau yang sering kita kenal dengan istilah Integreted Criminal
Justice System(ICSJ).
Berbagai upaya lain
juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut, tetapi masih
dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan laut yang ada. Sampai
pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upaya-upaya koordinasi berbagai
pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh
pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah
dengan melakukan revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada
sebelumnya untuk diatur kembali melalui instrument Peraturan Presiden.
Adanya perubahan tata
pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini perlu penataan
kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi
pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam,
Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan
Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29
Desember 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan
Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi
tersebut.
Untuk menciptakan
kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I melaksanakan operasi kamla
terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar dijajaran, dalam rangka
penegakan kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam untuk
kepentingan nasional maupun daerah. Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan
tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9
Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu :
- Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
- Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
- Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
- Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut;
- Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Saat ini penyidik TNI
AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan
melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan
efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL
sesuai amanat Undang-undang telah menetapkan owner, agen dan operator kapal
sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung
dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL
memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu
ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian
kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif
memberantas praktek illegal fishing.
Prosedur dan tata
cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di
laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa
perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena
di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula
kepentingan-kepentingan internasional yang harus dihormati, seperti hak lintas
damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan kabel
laut serta perikanan tradisional negara tetangga. Adapun seperangkat aturan
sebagai pendukung penegakkan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing di
Indonesia antara lain sebagai berikut :
- Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
- UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan,
- Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
- Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial,
- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Penghambat
Penegakkan Hukum Terhadap IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) Illegal
Fishing.
- Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum
Obyek yang dimaksud
disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal Fishing yaitu pelaku
yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum
Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai
Negeri Sipil yang tidak diatur secara khusus dalam Undang–Undang tentang
Perikanan tersebut.Penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan
pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan
yang turut serta melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam
kejahatan Illegal Fishingyang melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban
pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam terjadinya tindak pidana
Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan
kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta,
dapat dipidanakan maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56
ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
- Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi
antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan
kebijakan masing – masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik
kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu
kendala dalam penanggulangan kejahatan Illegal Fishing. Proses peradilan mulai
dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar,
proses hukum yang sangat panjang dan sarana/prasarana yang sangat memadai
membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu
Instansi tentu tidak memiliki semua komponen, data/informasi ataupun sarana dan
prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu
diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait
dalam upaya penegakan hukum terhadap Illegal Fishing tersebut.
Dalam pemberantasan
kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa yang
merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah
disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai
Instansi yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor
PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang
Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang
berada dalam satu mata rantai pemberantasanIllegal Fishing yang sangat
menentukan proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu : Kementerian
Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, TNI – Angkatan Laut,
Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian
Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan
Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota.
Koordinasi antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan
dalam penegakan hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan
kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari
penangkapan ikan secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport
ikan secara ilegal.
- Rumusan Sanksi Pidana.
Rumusan sanksi pidana
dalam pasal Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang –
Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki sanksi pidana denda
yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata
belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman
hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang melakukan
penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan)
dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin
palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,-
(dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang – Undang ini tidak
mengatur rumusan sanksi paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi
pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku.
Demikian juga belum
diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan
terutama kepada tindak pidana pembiaran. Terlepas dari semua itu masyarakat
sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu mempertanyakan putusan
pengadilan dengan adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh aparat
penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI – Angkatan Laut, Penyidik Polri, Jaksa
maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar
Lembaga Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan–tudingan yang
tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut terbukti, maka oknum Penegak
Hukum tersebut harus segera ditindak dengan tegas berdasarkan aturan hukum dan
hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum perlu melakukan pembaharuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar