Jumat, 06 November 2020

Penegakan Hukum Di Laut yang Tunduk Di Bawah Kedaulatan.


Penegakan Hukum Di Laut yang Tunduk Di Bawah Kedaulatan.

Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial atau perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara pantai atau menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi, maka negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya kewenangan Negara pantai untuk menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum di laut territorial, perairan pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1), adalah perwujudan dari yurisdiksi teritorialitas.
Penegakan Hukum di ZEE.
Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab IX (Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan Laut) dan Bab. V tentang ZEE. Dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai yang berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan Negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum.
Bertalian dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE diatur dalam pasal 73 UNCLOS 1982 yang menentukan :
  1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di zona ekonomi ekskluisf mengambil tindakan sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
  2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
  3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebalik-nya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
  4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memeberitahu kepada negara bendera kapal melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Report this ad
Jadi berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan yang layak) yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh dalam bentuk hukuman badan yaitu penjara.
Penegakkan Hukum IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) Fishing Di Indonesia.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana di Indonesia dilakukan melalui proses peradilan pidana sebagaimana ditegaskan dalam Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) dimana setiap bentuk tindak pidana yang terjadi ditangani melalui tahapan Pre Ajudikasi, Ajudikasi dan Post Ajudikasi. Pre Ajudikasi : Pada tahapan ini Lembaga atau Instansi penegak hukum yang telibat secara langsung yaitu penyidik (Polisi, Angkatan Laut dan Penyidik PNS) serta Jaksa (Kejaksaan). Penegak hukum melakukan suatu tindakan berdasarkan informasi maupun laporan mengenai adanya suatu tindak pidana Illegal Fishing namun tidak jarang pula adanya tindakan langsung oleh Kepolisian maupun Angkatan Laut atas temuan dari Intelegen mereka sendiri, seperti sering dilakukannya Gelar Patroli Keamanan Laut oleh kedua lembaga tersebut. Namun demikian hasil dari Gelar Patroli Keamanan Laut tersebut selanjutnya yang akan diproses pada tahapan berikutnya, tidak akan berjalan atau dilakukan secara optimal tanpa adanya koordinasi yang utuh dan menyeluruh dari berbagai lembaga penegak hukum atau yang sering kita kenal dengan istilah Integreted Criminal Justice System(ICSJ).
Berbagai upaya lain juga telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengamanan laut, tetapi masih dipandang belum memadai dalam menjawab tantangan keamanan laut yang ada. Sampai pada akhirnya pemerintah merasa perlu melakukan upaya-upaya koordinasi berbagai pihak dalam upaya pengamanan laut Indonesia. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah di bawah pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono adalah dengan melakukan revitalisasi Badan Koordinasi Keamanan Laut yang sudah ada sebelumnya untuk diatur kembali melalui instrument Peraturan Presiden.
Adanya perubahan tata pemerintahan dan perkembangan lingkungan strategis saat ini perlu penataan kembali Bakorkamla untuk meningkatkan koordinasi antar institusi/instansi pemerintah di bidang keamanan laut. Pada tahun 2003, melalui Kep. Menkopolkam, Nomor Kep.05/Menko/Polkam/2/2003, dibentuk Kelompok Kerja Perencanaan Pembangunan Keamanan dan Penegakan Hukum di Laut. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2005, ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) yang menjadi dasar hukum organisasi tersebut.
Untuk menciptakan kondisi keamanan wilayah yang kondusif, Lantamal I melaksanakan operasi kamla terbatas dengan Alutsista KAL/Patkamla yang tergelar dijajaran, dalam rangka penegakan kedaulatan dan hukum serta melindungi sumber sumber daya alam untuk kepentingan nasional maupun daerah. Pelaksanaan tugas pokok Lantamal I Belawan tentu mengacu pada tugas pokok TNI Angkatan Laut yang diamanatkan dalam pasal 9 Undang-undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu :
  1. Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;
  2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi;
  3. Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;
  4. Melaksanakan tugas dan pengembangan kekuatan matra laut;
  5. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Saat ini penyidik TNI AL secara konsisten telah menerapkan Undang-undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dengan melaksanakan enforcement of law secara cepat dan tuntas serta dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya. Dalam proses penyidikan di pangkalan TNI AL sesuai amanat Undang-undang telah menetapkan owner, agen dan operator kapal sebagai tersangka. Hal ini dilakukan agar para pemilik tidak lagi berlindung dibalik badan dan mengorbankan para Nakhoda dan ABK kapal ikan. Penyidik TNI AL memang harus tunduk kepada otoritas yang mengatur perijinan, meskipun selalu ditempatkan sebagai pemadam kebakaran dan disalahkan bila ada penyelesaian kasus yang belum tuntas. Komitmen TNI AL tetap tinggi untuk proaktif memberantas praktek illegal fishing.
Prosedur dan tata cara pemeriksaan tindak pidana di laut sebagai bagian dari penegakan hukum di laut mempunyai ciri-ciri atau cara-cara yang khas dan mengandung beberapa perbedaan dengan pemeriksaan tindak pidana di darat. Hal ini disebabkan karena di laut terdapat bukan saja kepentingan nasional, akan tetapi terdapat pula kepentingan-kepentingan internasional yang harus dihormati, seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas transit, pemasangan kabel laut serta perikanan tradisional negara tetangga. Adapun seperangkat aturan sebagai pendukung penegakkan hukum terhadap tindak pidana illegal fishing di Indonesia antara lain sebagai berikut :
  1. Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
  2. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil serta aturan pelaksanaannya lainnya seperti : Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2005 tentang Usaha Perikanan,
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
  5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana di Bidang Perikanan,
  6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.14/MEN/2005 tentang Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan,
  7. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2005 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pembudidaya Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia Yang Bukan Untuk Tujuan Komersial,
  8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.06/MEN/2008 tentang Penggunaan Pukat Hela di Perairan Kalimantan Timur Bagian Utara, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.08/MEN/2008 tentang Penggunaan Alat Penangkap Ikan Jaring Ingsang (Gill Net) di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).
Penghambat Penegakkan Hukum Terhadap IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) Illegal Fishing.
  • Obyek Penegak Hukum Sulit Ditembus Hukum
Obyek yang dimaksud disini adalah pelaku yang terlibat dalam kejahatan Illegal Fishing yaitu pelaku yang menjadi otak dari kegiatan tersebut. Terutama dalam hal ini adalah oknum Pejabat Penyelenggara Negara, oknum Aparat Penegak Hukum atau oknum Pegawai Negeri Sipil yang tidak diatur secara khusus dalam Undang–Undang tentang Perikanan tersebut.Penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHP yang mengkualifikasikan pelaku tindak pidana sebagai orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan pidana dapat juga diterapkan dalam kejahatan Illegal Fishingyang melibatkan banyak pihak. Namun demikian beban pidana yang harus ditanggung secara bersama dalam terjadinya tindak pidana Illegal Fishing juga dapat mengurangi rasa keadilan masyarakat, karena dengan kualitas dan akibat perbuatan yang tidak sama terhadap pelaku turut serta, dapat dipidanakan maksimum sama dengan si pembuat menurut ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHP, sedangkan ternyata peranan pelaku utamanya sulit ditemukan.
  • Lemahnya Koordinasi Antar Penegak Hukum
Lemahnya koordinasi antar Instansi Penegak Hukum dapat menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan kebijakan masing – masing, sehingga sangat rawan menimbulkan konflik kepentingan. Penegakan hukum yang tidak terkoordinasi merupakan salah satu kendala dalam penanggulangan kejahatan Illegal Fishing. Proses peradilan mulai dari penyidikan hingga ke persidangan membutuhkan biaya yang sangat besar, proses hukum yang sangat panjang dan sarana/prasarana yang sangat memadai membutuhkan keahlian khusus dalam penanganan kasus tersebut. Dalam satu Instansi tentu tidak memiliki semua komponen, data/informasi ataupun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam rangka penegakan hukum. Oleh karena itu diperlukan koordinasi dan kerjasama yang sinergis antar Instansi yang terkait dalam upaya penegakan hukum terhadap Illegal Fishing tersebut.
Dalam pemberantasan kejahatan Illegal Fishing yang terjadi di Indonesia sering ditemui bahwa yang merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan Illegal Fishing ialah disebabkan oleh kurangnya koordinasi yang efektif dan efisien antara berbagai Instansi yang terkait, yang mana sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER/11/MEN/2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Nomor PER/13/MEN/2005 tentang Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perikanan yaitu dalam hal ini terdapat 10 (sepuluh) Instansi yang terkait yang berada dalam satu mata rantai pemberantasanIllegal Fishing yang sangat menentukan proses penegakan hukum kejahatan perikanan yaitu : Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepolisian Republik Indonesia, TNI – Angkatan Laut, Kejaksaan Agung, Kementerian Hukum dan Ham Ditjen Keimigrasian, Kemeterian Perhubungan Ditjen Perhubungan Laut, Kementerian Keuangan Ditjen Bea dan Cukai, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ditjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan, Mahkamah Agung dan Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Koordinasi antar berbagai Instansi tersebut sangat menentukan keberhasilan dalam penegakan hukum pidana terhadap kejahatan Illegal Fishing yang merupakan kejahatan terorganisir yang memiliki jaringan yang sangat luas mulai dari penangkapan ikan secara ilegal, tanshipment ikan ditengah laut hingga eksport ikan secara ilegal.
  • Rumusan Sanksi Pidana.
Rumusan sanksi pidana dalam pasal Undang – Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan perubahannya Undang – Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikananyang memiliki sanksi pidana denda yang sangat berat dibandingkan dengan ketentuan pidana yang lain, ternyata belum memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan Illegal Fishing. Ancaman hukuman penjara yang paling berat 6 (enam) tahun bagi pelaku yang melakukan penangkapan ikan tanpa memiliki atau membawa SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) dan paling berat 7 (tujuh) tahun bagi yang melakukan pemalsuan dan memakai ijin palsu berupa SIUP, SIPI, SIKPI. Pidana denda yang paling banyak Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar rupiah). Rumusan sanksi dalam Undang – Undang ini tidak mengatur rumusan sanksi paling rendah atau minimum sehingga seringkali sanksi pidana yang dijatuhkan tidak memberi efek jera kepada pelaku.
Demikian juga belum diatur tentang sanksi pidana bagi korporasi serta sanksi pidana tambahan terutama kepada tindak pidana pembiaran. Terlepas dari semua itu masyarakat sebagai pihak yang awam terhadap hukum akan selalu mempertanyakan putusan pengadilan dengan adanya praktek – praktek yang unprofesional oleh aparat penegak hukum baik PPNS Perikanan, TNI – Angkatan Laut, Penyidik Polri, Jaksa maupun Hakim namun tentu saja hal tersebut harus mempunyai dasar yang kuat agar Lembaga Penegak Hukum sendiri tidak dirugikan dengan tudingan–tudingan yang tidak berdasar. Sebaliknya jika tudingan tersebut terbukti, maka oknum Penegak Hukum tersebut harus segera ditindak dengan tegas berdasarkan aturan hukum dan hal ini berarti Lembaga Penegak Hukum perlu melakukan pembaharuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar